Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Al-Maturidiah - Pengertian Aliran, Dokrin ajaran dan Sekte aliran

A. Latar belakang al-Maturidiah.

Dari prespektif islam aspek politik dan akidah termasuk persoalan serius yang banyak menguras energi para pemikir dan politikus islam semenjak Rasulullah wafat. Kedua hal tersebut terkait dan saling berhubungan, karna dari persoalan politik tersebut meningkat menjadi persoalan akidah seperti tentang dosa besar, kafir, dan mukmin yang kemudian melahirkan beberapa aliran teologi seperti khawarij, murji’ah dan mu’tajilah. 

Al-Maturidiah - Pengertian Aliran, Dokrin ajaran dan Sekte aliran
Al-Maturidiah


Aliran Maturidiah di ambil dari nama pendirinya yaitu Abu Manshur Muhammad bin Muhammad Al-Maturidi. Ia di lahirkan di sebuah kota kecil ia itu maturid, Samarkand pada pertengan abad 3 Hijriah, dan wafat pada tahun 333 Hijriah.riwayat Abu Al-Mansyur ( Al-Maturidi ) tidak banyak diketahui orang. Begitu juga halnya ajaran ajaran Abu Manshur dan aliran Maturidiyah tidak banyak dibukukan atau ditulis orang. Diantara sekian banyak buku yang membahas aliran-aliran keagamaan, seperti buku karangan Al-Syahrastani, Ibnu Hazm, Al-Baghdadi, Dan lainnya tidak memuat keterangan-keterangan tentang Al-Maturidi atau pengikut-pengikutnya. Sedangkan karangan-karangan Al-Maturidi sendiri masih belum dicetak dan tetap dalam bentuk naskah. Diantara naskah itu adalah kitab Al- Tauhid dan Kitab Ta’wil Al-Qur’an. Selain itu ada lagi karangan-karangan yang kabarnya disusun oleh Al-Maturidi, Yaitu Risalah Fi Al-Aqaid danSyarh Al- Fiqh Al-Akbar. 

Aliran Maturidiyah berdiri atas prakarsa Al-Maturidi pada tahun pertama abad ke-4 Hijriah. Al-Maturidi itu muncul dari paham teologi Ahlu Sunnah Wa-l Jama’ah, yang berpegang teguh pada sunnah, yang berbeda dengan mu’tazilah yang tidak kuat berpegang teguh pada sunnah. Oleh karena itu, Ahlu Sunnah merupakan golongan yang mayoritas dan golongan Mu’tazilah yang merupakan golongan minoritas. 

Beberapa hal pemikiranya hampir sama dengan pendapat Mutazilah. Oleh karena itu, sering kali al-Maturidi disebut “berada di antara teologi Mu’tazilah dan Asy’ariyah”. Dalam perkembangan selanjutnya aliran-aliran Maturidi terbagi menjadi 2 sekte yakni sekte al-Maturidiyah Samarkhan (Abu Mansur al-Maturidiyah) dan al-Maturidiyah al Bukhara (Abu al-Yusr Muhammad Bazdawi).
Pada akhirnya terwujud, dalam aliran teologi yang di kenal dengan ahlusunnah wal jamaah, dengan tokoh utama Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Mereka bersatu untuk membantah untuk menentang terhadap mu’tazilah, meskipun Al-Asy’ari dan Al-Maturidi terdapat perbedaan faham.

B. Tokoh tokoh al-Maturidiah.

1. Tokoh Al-Maturidiyah Samarkhan.

Nama aslinya Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad abu Mansur al-Maturidi. Asalnya dari maturidi yaitu daerah di samarkhan. Sehingga terkadang namanya disandarkan pada Samarkhan dan biasa di panggil Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud al-Maturidi as-Samarkhan. Beliau di lahirkan tepatnya di maturid, Uzbekistan pada paruh kedua abad k eke 9 M. sebenarnya tahun kelahiranya tidak dikatahui secara pasti , namun Muhammad Abu Zahra menuliskan, diperkirakan pada pertengahan abad ke 3 H. karena beliau mereguk ilmu fikih mazhab hanafi dan ilmu kalam dari Nasr ibnu Yahya al-Balkhi yang wafat pada tahun 268H.

Abu Manshur Al-Maturidi merupakan seorang theologian (Mutakallimin) pembentuk ilmu kalam dari Nasr Ibn Yahya al-Balkhi yang wafat pada tahun 268 H. pandangan lain mengatakan bahwa Abu Mansur al-Maturidi merupakan seorang teologian (mutakallimin) pembentuk ilmu kalam (teologi Islam) yang wafat pada tahun 333 H./944 M. Beliau hidup pada sekitar abad ketiga dan keempat Hijriyajh atau pada pertengahan abad kesembilan sampai dengan pertengahan abad kesepuluh Masehi. 

   Semasa hidupnya al-Maturidi menerima ilmu dari banyak guru, di antaranya dari Abu Nashr Ahmad ibn al-Abbas al-Bayadi, Ahmad Ibn Ishak al-Jurjani dan Nashr ibn Yahya al-Balkhi yang merupakan ulama terkemuka dalam mazhab Hanafiah.

   Al-Maturidi merupakan pengikut setia dari Abu Hanifah yang terkenal ketat dengan keabsahan pendapat akal. Sehingga al-Maturidi banyak memakai komparasi akal dalam penyelesaian problem keagamaan (teologi). Pengikut dari al-Maturidi, salah satunya adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazwadi (421-493). Nenek al-Bazwadi merupakan murid dari al-Maturidi, dan ajaran al-Maturidi dari orang tuanya, Al-Bazwadi tidak selamanya sepaham dengan al-Maturidi. Perbedaan pendapat diantara mereka menyebabkan aliran al-Maturidi terbagi menjadi dua golongan, golongan Samarkhan dan golongan Bukhara.

2. Toko Al-Maturidiyah Bukhara

   Al-Bazdawi lahir di hudhud sebuah negri di bazdah akhir 400H/1010 M. Nama lengkapnya Ali ibn Abi Muhammad ibn al-husaein ibn Abd al-Karim ibn Musa ibn Isa ibn Mujahis al-bazdawi. Al-bazdawi adalah seorang tokoh besar yang berpengaruh pada zaman itu. Hal ini terlihat dengan keberhasilannya menjadi sub aliran Maturidiyah yang kemudian di kenal dengan nama Maturidiyah yang kemudian di kenal dengan nama Maturidiyah Bukhara. Di samping itu, al-Bazdawi memiliki beberapa gelar yaitu al-Mujtahid fi al-Masail (mujtahid yang tidak berjihad sepanjang masih ada pendapat imamnya, tetapi apabila ada masalah hukum yang belum di bahas oleh imamnya, maka mereka berijtihad untuk memecahkan), huffadz al-mazhab al-Hanafi (pelestarian mazhab Hanafi), kebanggan Islam, dan Abu al-Usr’(bapak kesulitan). 

C. Ajaran-Ajaran Aliran al-Maturidiyah.

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa aliran Maturidiah dan aliran Asy’ariah muncul dalam suasana yang sama, yakni dalam rangka membendung laju berkembangnya aliran Mu’tazilah. Oleh sebab itu untuk mengetahui ajaran- ajaran aliran Maturidiyah, tidak dapat begitu saja kita melupakan ajaran-ajaran Asy’ariah dan aliran Mu’tazilah

D. Pokok-pokok Ajaran Maturidiyah


   Metode berpikir al-maturidi dalam penetapan kewajiban ma’rifah terhadap Allah dapat dijangkau berdasarkan kemampuan akal untuk menalar. Oleh karena itu, terhadap sesuatu dapat dinilai dengan penilaian akal. Menurut al-Maturidi, ilmu semacam keragu-raguan karena ilmu mengembalikan pada persoalan yang memungkinkan dari dua persoalan sehingga perlu adanya penalaran. Ilmu pada hakekatnya mencakup terhadap sesuatu bagian-bagian yang Nampak dari sesuatu. Selain itu, al-maturidi berpendapat bahwa ilmu dan ma’rifah mengandung makna yang sama, sehingga tidak dibedakan, oleh karena itu, apabila ma’rifah dihubungkan dengan ilmu maka sama halnya dengan pembenaran. 

   Mengenai sifat-sifat Tuhan, terdapat persamaan antara ajaran Maturidiah dan ajaran Asy’ariah. Bagi mereka, Tuhan memiliki sifat-sifat. Tuhan mengetahui bukan dengan zat, melainkan dengan sifat-Nya (Pengetahuan-Nya), begitu juga tuhan berkuasa bukan dengan zat-Nya, melainkan dengan kekuasan-Nya.

   Mengenai perbuatan manusia, aliran Maturidiah sependapat dengan aliran Mu’tazilah. Mereka mengatakan bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian, maka paham Maturidiah dalam hal ini sejalan dengan paham Qadariah atau Mu’tazilah bukan paham Jabariah atau Kasb Asy’ariah

   Golongan Samarkhan lebih rasional karena ciri pemikiran yang lebih mengandalkan rasio. Mereka beranggapan bahwa akal mempunyai daya yang lebih mengandalkan memberikan interprestasi secara liberal terhadap teks ayat-ayat al-Qur’an dan hadis serta lebih bebas bergerak dalam menyesuaikan hidup dengan peredaran zaman dan perubahan kondisi dalam masyarakat bagi penganutnya. Berbeda dengan golongan Bukhara yang sedikit agak tradisional karena sikap yang tidak bebas artinya terikat pada dogma-dogma, tetapi juga pada ayat-ayat dahulu yang mempunyai arti zanni. Dalam memecahkan masalah mereka terlebih dahulu berpegang pada teks wahyu dan kemudian membawa argument-argumen rasional untuk teks tersebut. Dengan demikian, aliran maturidiyah berada di antara aliran Mu’tazial dan al-Asy’ariyah.

   Dalam soal dosa besar, Al-Maturidi sepaham dengan Asy’ari, yaitu bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin. Mengenai balasan tentang dosa besar itu akan ditentukan Tuhan Di akhirat kelak. Al-Maturidi juga menolak paham posisi di antara posisi seperti ajaran Mu’tazilah. 

   Dalam membicarakan kedudukan pelaku dosa besar, aliran Maturidiyah Samarkhan  sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Asy’ariyah. Bagi mereka amal tidak dianggap sebagai komponen utama dari imam. Oleh karena itu, orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari imam, meskipun amalnya tetap dihisab dan ia akan mendapatkan siksa, serta Allah dapat saja mencurahkan rahmat-Nya kepada pelaku dosa besar. Itulah sebabnya al-maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besr tidak kekal di neraka, diserahkan pada kebijaksanaan Allah.

   Selanjutnya al-Maturidi mengatakan bahwa yang benar mengenai orang yang berdosa ialah menyerakah persoalan mereka kepada Allah. Jika Allah menghendaki, maka Dia mengampuni mereka sebagai karunia, kebaikan dan rahmat-Nya. Sebaliknya jika Allah menghendaki, maka dia menyiksa mereka sesuai dengan kadar orang mukmin berada di antara harapan dan kecemasan. Allah boleh saja menghukum pelaku dosa kecil dan mengampuni pelaku dosa besar. Ulama sepakat bahwa seorang mukmin tidak akan kekal dalam neraka. Sekalipun telah terjadi perbedaan pendapat di antara mereka tentang siapa mereka sebenarnya orang mukmin yang kekal dalam neraka. 

   Masih dalam kaitan soal kebaikan dan keburukan, Aliran Maturidiah tidak sejalan dengan aliran Asy’ariah yang mengatakan bahwa sesuatu tidak mempunyai kebaikan atau keburukan. Kebaikan ada karena adanya perintah syara’ dan keburukan juga ada karena adanya larangan syara’. Kebaikan dan keburukan itu tergantung pada Tuhan. Jadi, paham Mutaridiah dalam hal ini berada di tengah-tengah antara paham Mu’tazilah dan paham Asy’ariah.

   Keberhasilan-keberhasilan itu dicapainya dengan menorehkan beberapa hasil pemikirannya sesuai dengan bidang ilmu yang diketahuinya, diantaranya sebagai berikut :
  1. Menurutnya ilmu terbagi atas 2 yakin pertama, ilmu tauhid dan sifat, ilmu ini pada prinsipnya berpegang teguh pada al-Qur’an dan hadis serta menghindari dari hawa nafsu dan bid’ah. Umat islam harus mengikuti terikat(cara-cara yang ditempuh) sunnah atau jamaah yang ditempuh oleh sahabat, tabi’in dan orang-orang saleh, sebagaimana diajarkan sebelumnya. Kedua, ilmu syariat dan hokum.
  2. Bidang usul fiqh, al-Bazdawi mengajukan pemikiran di sekitar ijma’.baginya ada beberapa tingkatan ijma’ yakni 1). ijma sahabat, kedudukannya sama dengan ayat dan khabar mutawatir , 2). Hadis masyhur, dan 3). Ijma Mujtahid, yakni pada masa salaf, kedudukannya sama dengan hadis ahad, menurutnya ijma dapat dinasakh oleh ijma yang setaraf. Inilah yang membuat perbedaan dengan ulama-ulama usul fiqh lainnya yang menyatakan bahwa ijma’tidak dapat dibatalkan dengan ijma’
  3. Dalam bidah fiqh, bahwa fiqih dari tiga sumber yaitu kitab, sunnah, dan ijma’, sedangkan qiyas di istinbatkan dari asal yang tiga tersebut. Hukum-hukum syara’ hanya diketahui dengan mengetahui peraturan dan pengertian yang terdiri dari empat bagian. Pertama dalam bentuk peraturan adalah Sighat dan bahasa. Kedua, penjelasan peraturan. ketiga, mempergunakan peraturan dalam bab bayan (penjelasan), dan keempat, mengetahui batas maksud dan makna karena keluasaannya dan banyak kemungkinannya. Dalam bidah ilmu fiqh, al-Bazdawi termasuk pengikut mazhab Hanafi yang ditempatkan pada posisi paling tinggi. Karena Imam Hanafi menurutnya berani menasakh al-Qur’an dengan hadis dan mengamalkan hadis mursal dan beranggapan beramal dengan hadis mursal lebih baik dari pada beramal dengan ru’yi (pemikiran hasil ijtihad)
  4. Pemikirannya yang sulit dipahami oleh Abdul Azis Bukhari ketika menulis Kasyf al-Asrar adalh ungkapan wa lamma haza al-kitab kasyifan’an sammaituhu ghawamid muhtajibah ‘am al-absar, nasib’an sammaituhu kasyif al-asrar.(berhubung karena kitab ini berfungsi sebagai usaha untuk menyikap masalah yang tidak terjangkau oleh pengertian [sulit sekali], maka tepatlah apabila aku memberinya judul Menyingkap Rahasia. 


Mengenai kedudukan Al-Qur’an, Maturidiah tidak sepaham dengan Mu’tazilah. Aliran Maturidiah sebagaimana aliran Asy’ariah berpendapat bahwa Al-Qur’an (Kalamullah) itu diciptakan, tetapi bersifat qadim. Begitu pula mengenai kewajiban Tuhan mewujudkan perbuatan yang baik dan yang terbaik sebagaimana pendapat Mu’tazilah, ditolak oleh Al-Maturidi. Menurut Al-Maturidi, perbuatan Tuhan itu tidak bisa dikatakan wajib, karena perbuatan wajib itu mengandung unsur paksaan, sedangkatan perbuatan Tuhan itu jika karena terpaksa bertentangan dengan sifat Iradah-Nya. Namun demikian, Al-Maturidi percaya bahwa Tuhan berbuat tidak sia-sia. Perbuatan Tuhan itu ada tujuannya. 

E. Doktrin-doktrin Teologi Al- Maturidiyi

1. Akal dan Wahyu

   Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasar pada Al-Quran dan Akal. Dalam hal ini sama dengan Al-Asy’ari. Namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar daripada yang diberikan oleh Al-Asy’ari.

   Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan Kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui oleh akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan memerintahkan menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut. Namun akal, menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya. 

   Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dalam kondisi demikian, wahyu diperlukan untuk dijadikan sebagai pembimbing. 

Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
  1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
  2. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu.
  3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.

   Tentang mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu dengan akal, Al-Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah. Hanya saja jika Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk itu berdasarkan pada pengetahuan akal. Al-Maturidi mengatakan bahwa kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan ajaran wahyu saja. Dalam persoalan ini, Al-Maturidi berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Asy’ari,baik atau buruknya itu tidak terdapat pada sesuatu itu sendiri. Sesuatu itu dipandang baik karena perintah Allah dan yang buruk itu karena larangan Allah. Dalam Konteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah antara Mu’tazilah dan Al-Asy’ari. 

2. Perbuatan Manusia 

   Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala Sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat(ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang diberukan kepadanya dapat dilaksanakan. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Tuhan menciptakan daya dalam diri manusia dan manusia bebas melakukannya. Daya-daya tersebut diciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Dengan demikian, tidak ada pertentngan antara qudrat Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian, karena daya diciptakan dala diri manusia dan perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya. Maka tentu daya itu juga daya manusia. Berbeda dengan Al-Maturidi, Al-Asy’ari mengatakan bahwa daya tersebut adalah daya Tuhan karena ia memandang bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Berbeda pula dengan Mu’tazilah yang memandang daya sebagai daya manusia yang telah ada sebelum perbuatan itu sendiri. 
Dalam masalah pemakaian daya ini, Al-Maturidi membawa paham Abu Hanifah, yaitu adanya Masyiah (kehendak) dan Ridha (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehendak Tuhan, tetapi ia dapat memilih yang diridhai-Nya atau yang tidak diridhai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak Tuhan dan berbuat buruk juga atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan-Nya. Dengan demikian, berarti manusia dalam paham Al-maturidi tidak sebebas manusia dalam paham Mu’tazilah. 

3. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan

Telah diuraikan diatas bahwa perbuatan manusia dan segala wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut Al-Maturidi bukan berarti bahwa Tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang-wenang (Absolut), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri. 

4.  Sifat Tuhan

Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, terdapat persamaan antara pemikiran Al-Maturidi dan Al-Asy’ari. Keduanya berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama’, bashar, dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian Al-Matiridi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari. Al-Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan sesuatu yang melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain ad-dzat wa la hiya ghairuhu). Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus membawanya pada pengertian anthropomorphisme karena sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada berbilangnya yang qadim(taaddud al-qudama).

Tampaknya paham Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati paham Mu’tazilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan. 

5. Melihat Tuhan

Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh Al- Qur’an, antara firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23.
Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia Immateral. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia. 

6. Kalam Tuhan

   Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam Nafsi adalah sifat Qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baru ( hadits). Al-qur’an dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baru ( hadits). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dan bagaimana Allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak dapat kita ketahui, kecuali dengan suara perantara.

Menurut Al-Maturidi, Mu’tazilah memandang Al-qur’an sebagai yang tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata. Sedangkan Al-Asy’ari memandangnya dari segi makna abstrak. Kalam Allah menurut Mu’tazilah bukan merupakan sifat-Nya dan bukan pula dari dzat-Nya. Al-qur’an sebagai sabda Tuhan bukan sifat, tetapi perbuatan yang diciptakan Tuhan dan tidak bersifat kekal. Pendapat ini diterima Al-Maturidi, hanya sala Al-Maturidi lebih suka menggunakan istilah hadits sebagai pangganti makhluk untuk sebutan Al-qur’an. Dalan konteks ini, pendapat Al-Asy’ari juga memiliki kesamaan dengan sabda adalah makna abstrak tidak lain dari kalam nafsi menurut Al-maturidi dan itu memang sifat kekal Tuhan. 

7. Perbuatan Manusia

   Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri.  Oleh karena itu, Tuhan tidak wajib berbuat ash-shalah wa al-ashlah (yang baik dan yang terbaik bagi manusia). Setiap perbuatan Tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
  1. Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia juga diberi kemerdekaan oleh tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya.
  2. Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya. 

8. Pengutusan Rasul

Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban yang dibebankan kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban lainnya dari syariat yang dibebankan kepada manusia. Oleh karena itu, manurut Al-Maturidi, akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi, pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya. 

Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pengutusan rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya. 

9. Pelaku Dosa Besar

Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup engan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambahatau mengurangi sifatnya saja. 

Menurut pandangan penulis, aliran Maturidiah merupakan aliran yang berada di posisi tengah yaitu antara aliran Asy’ariyah dan Mu’tazilah. aliran ini muncul untuk menentang terhadap aliran mu’tazilah. Tapi disisi lain aliran ini sependapat dengan aliran Mu’tazilah yaitu mengenai perbuatan manusia. Mereka mengatakan bahwa manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Sedangkan mengenai sifat-sifat Allah, Aliran maturudiyah memiliki persamaan dengan aliran Asy’ariyah. Menurut mereka, Tuhan memiliki sifat-sifat, tuhan mengetahui bukan dengan dzat melainkan dengan sifat atau pengetahuannya, tuhan berkuasa bukan dengan Dzatnya melainkan dengan kekuasannya, tapi disisi lain juga menentang Aliran Mu’tazilah mengenai kedudukan Al Quran. 

Jadi penulis menyimpulkan bahwa Aliran Maturidiyah ini merupakan aliran yang netral. Dan apabila aliran ini berkembang di negara indonesia, bisa dikatakan tidak akan menjadi perusak bagi agama dan negara, karena aliran ini muncul dari paham teologi Ahlusunnah waljamaah yang berpegang teguh pada sunnah. Dan bisa dikatakan menjadi aliran yang mayoritas bukan minoritas.