Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

(Lengkap) Biografi Imam 4 Mazhab Dan Sumber Penetapan Hukum


(Lengkap) Biografi Imam 5 Mazhab Dan Sumber Penetapan Hukum



Biografi  Imam Hanafi


Nu’man bin Tsabit bin Zautha. Seorang keturunan bangsa Ajam dari Persia. Dilahirkan pada masa sahabat, yaitu pada tahun 80 H (699 M). Beliau wafat pada tahun 150 H. Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah.Abu Hanifah memiliki ilmu yang luas dalam semua kajian Islam hingga ia merupakan seorang mujtahid besar (imamul a’zdam ) sepanjang masa. Meskipun demikian ia hidup sebagaimana layaknya dengan melakukan usaha berdagang dalam rangka menghidupi keluarga. 
Abu Hanifah terkenal sebagai orang yang ulung dalam mengikuti kaidah qiyas yang kemudian menjadi salah satu dasar hukum islam.sepeninggal gurunya (Hammad ibni Sulaiman Al-Asy’ari),ia pernah mengajar dan memberi fatwatentang berbagai hal yang belum pernah didengar melalui gurunya. 
Adapun sumber hukum Imam Imam Hanafi dalam menetapkan hukum Islam adalah berpegang pada:

1. Al-Qur’an

Alqur’an merupakan sumber pokok hukum islam sampai akhir zaman.

2. Hadits

 Hadits merupakan penjelas dari pada Al-Qur’an yang asih bersifat umum.

3. Aqwalus shahabah (Ucapan Para Sahabat)

Ucapan para sahbat menurut Imam Imam Hanafi itu sangat penting karena menurut beliau para sahabat meupakan pembawa ajaran rasul setelah generasinya.

4. Qiyas

Beliau akan menggunakan Qiyas apa bila tidak ditemukan dalam Nash Al-Qur’an, Hadits, maupun Aqwalus shahabah. Istihsan: merupakan kelanjutan dari Qiyas. penggunaan Ar-Ra’yu lebih menonjol lagi,istihsan menurut bahasa adalah “menganggap lebih baik”, menurut  ulama Ushul Fiqih Istihsan adalah meninggalkan ketentuan Qiyas yang jelas Illatnya untuk mengamalkan Qiyas yang bersifat samar.

5. Urf

Beliaua mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dalam kebutuhan srta memeperhatikan muamalh manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi mereka. Beliau menggunakan segala urusan (bila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an ,As-Sunnah dan Ijma’ atau Qiyas ), beliau akan menggunakan Istihsan, jika tidak bisa digunakan dengan istihsan maka beliau kembalikan kepada Urf manusia.

Selain itu, dasar dasar ilmu hukum tersebut ada pula beberapa pendirian terhadap taqlid yaitu Sebagai seorang ulama, beliau tidak membenarkan seorang bertaklid buta (tidak mengetahui dasar/dalil yang digunakan). Begitu juga kepada para Ulama beliau menginginkan seorang bersikap kritis dalam menerima fatwa dalam ajaran agama.
Dalam meng-istinbathkan hukum, beliau melihat terlebih dahulu kepada kitabullah, bila tidak ditemukan dilanjutkan kepada sunnah jika tidak ditemukan pula dalam sunnah beliau melihat kepada perkataan para sahabat, lalu beliau menggunakan jalan pikiran untuk mengambil pendapat mana yang sesuai dengan jalan pikiran dan ditinggal apabila ada yang tidak sesuai.



Biografi Imam Malik


Imam Malik bin Anas bin Malik bin Amr al-Asbahi lahir di Madinah pada tahun 93 H (714 M). Rumah leluhurnya itu di Yaman, namun kakeknya menetap di Madinah setelah memeluk Islam.Nasab beliau digolongkan ke sebuah kabilah Yaman yaitu DzulAsbahy,Adapun nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Amr al-Asbahi Al-Yamani.
Dikatakan bahwa Imam Malik mencari lebih dari tiga ratus Tabi'in (mereka yang melihat dan mengikuti para sahabat Nabi).Imam Malik memegang hadits Nabi,majlis yang digunakan Imam Malik adalah di majelis Umar bin Khattab dan di majelis itulah juga majelis yang di duduki oleh Rasulullah SAW dalam menyampaikan ajaran agamanya yakni dalam masjid Rasulullah di Madinah. 
Imam Malik tumbuh besar di sebuah keluarga yang di sibukkan dengan ilmu atsar,serta lingkungan yang keseluruhannya adalah atsar dan hadis,adapun rumahnya sendiri merupakan rumah yang disibukkan oleh ilmu hadist,atsar-atsar,khabar-khabar,serta fatwa para sahabat. 
Adapun sumber hukum Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam adalah berpegang pada:

1. Al-Qur’an

Dalam memegang Al-Qur’an ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas zahir nash Al-Qur’an atau keumumannya, meliputi mafhum al-Mukhalafah dan mafhum al-Aula dengan memperhatikan ‘illatnya.

2. Sunnah

Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada Al-Qur’an. Apabila dalil syar’iy menghendaki adanya penta’wilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti ta’wil tersebut. Apabila terdapat pertentangan antara makna dzahir Al-Qur’an dengan makna yang terkandung dalam sunnah, maka yang dipegang adalah makna dzahir Al-Qur’an. Tetapi apabila makna yang dikandung oleh sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’ ahl Al-Madinah, maka ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah dari pada dzahir Al-Qur’an.

3. Ijma’ Ahl al-Madinah

Ijma’ ahl al-Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma’ ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari hasil ijtihad ahl al-Madinah. Ijma’ semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.
Dikalangan mazhab Imam Maliki, ijma’ ahl al-Madinah lebih diutamakan dari pada khabar ahad, sebab ijma’ ahl al-Madinah merupakan pemberitaan oleh jama’ah, sedang khabar ahad hanya merupakan pemberitaan perseorangan.

4. Fatwa Sahabat

Yang dimaksud dengan Sahabat disini adalah sahabat besar, yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada al-Naql.Menurut Imam Malik, para sahabat besar itu tidak akan memberi fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah SAW. Namun demikian, beliau mensyaratkan bahwa fatwa sahabat tersebut tidak boleh bertentangan dengan hadits marfu’ yang dapat diamalkan dan fatwa sahabat yang demikian ini lebih didahulukan dari pada Qiyas.

5. Khabar Ahad dan Qiyas

Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah, jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat Madinah, sekalipun hanya dari hasil istinbath, kecuali khabar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang qath’iy. Dalam menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik tidak selalu konsisten. Kadang-kadang ia mendahulukan qiyas dari pada khabar ahad. Kalau khabar ahad itu tidak dikenal atau tidak populer di kalangan masyarakat Madinah, maka hal ini dianggap sebagai petunjuk, bahwa khabar ahad tersebut tidak benar berasal dari Rasulullah SAW. Dengan demikian, maka khabar ahad tersebut tidak digunakan sebagai dasar hukum, tetapi ia menggunakan qiyas dan mashlahah.

6. Al-Istihsan

Menurut mazhab Imam Maliki, al-Istihsan adalah: “Menurut hukum dengan mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-istidlal al-Mursal dari pada qiyas, sebab menggunakan istihsan itu,tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat syara’ secara keseluruhan”. Dari ta’rif tersebut, jelas bahwa istihsan lebih mementingkan maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil kully.

7.  Al-Mashlahah Al-Mursalah

Maslahah Mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nash. Dengan demikian, maka maslahah mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan syari’at diturunkan. Tujuan syari’at diturunkan dapat diketahui melalui Al-Qur’an, sunnah atau ijma’. Para ulama yang berpegang kepada maslahah mursalah sebagai dasar hukum, menetapkan beberapa syarat untuk dipenuhi sebagai berikut:

  • Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah menurut penelitian yang seksama, bukan sekedar diperkirakan secara sepintas saja.
  • Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum, bukan sekedar maslahah yang hanya berlaku untuk orang-orang tertentu.
  • Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum dan tidak bertentangan dengan ketentuan nash atau ijma’.


8.Syadd Al-Dzara’i

Imam Malik menggunakan syadd al-dzara’i sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya.

9. Istishhab

Imam Malik menjadikan istishhab sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Istishhab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau. Jadi sesuatu yang telah dinyatakan adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya tersebut, hukumnya tetap seperti hukum pertama, yaitu tetap ada. Begitu pula sebaliknya.


Biografi Imam Syafi’i


Abu ʿAbdillah Muhammad bin Idris As-Syafiʿi atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i biasa dipanggil Imam Syafi’i lahir di Gaza, Palestina, 150 H / 767 dan wafat di Fusthat, Mesir 204H / 819M. Beliau adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Imam Syafi’i. Imam Syafi’i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek Muhammad.

Saat berusia 9 tahun, beliau telah menghafal seluruh ayat Al Quran dengan lancar bahkan beliau sempat 16 kali khatam Al Quran dalam perjalanannya dari Mekkah menuju Madinah. Setahun kemudian, kitab Al Muwatha’ karangan imam malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan juga beliau hafal dengan lancar hanya dalam waktu 9 hari saja.

Saat usia 20 tahun, Imam Syafi’i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid Imam Imam Hanafi di sana.

Adapun sumber hukum Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum Islam adalah berpegang pada:

1. Nash-nash

Baik Alquran dan sunnah yang merupakan sumber utama bagi fikih Islam, dan selain keduanya adalah pengikut saja. Para sahabat terkadang sepakat atau berbeda pendapat, tetapi tidak pernah bertentangan dengan Alquran atau sunnah.

2. Ijma’

merupakan salah satu dasar yang dijadikan hujjah oleh Imam Syafi’i menempati urutan setelah Alquran dan sunnah. Beliau mendefinisikannya sebagai kesepakatan ulama suatu zaman tertentu terhadap satu masalah hukum syar’i dengan bersandar kepada dalil. Adapun ijma’ pertama yang digunakan oleh Imam Syafi’i adalah ijmaknya para sahabat, beliau menetapkan bahwa ijma’ diakhirkan dalam berdalil setelah Alquran dan sunnah.


3. Pendapat para sahabat.

Imam Syafi’i membagi pendapat sahabat kepada tiga bagian. Pertama, sesuatu yang sudah disepakati, seperti ijmak mereka untuk membiarkan lahan pertanian hasil rampasan perang tetap dikelola oleh pemiliknya. Ijmak seperti ini adalah hujjah dan termasuk dalam keumumannya serta tidak dapat dikritik. Kedua, pendapat seorang sahabat saja dan tidak ada yang lain dalam suatu masalah, baik setuju atau menolak, maka Imam Syafi’i tetap mengambilnya. Ketiga, masalah yang mereka berselisih pendapat, maka dalam hal ini Imam Syafi’i akan memilih salah satunya yang paling dekat dengan Alquran, sunnah atau ijma’, atau menguatkannya dengan qiyas yang lebih kuat dan beliau tidak akan membuat pendapat baru yang bertentangan dengan pendapat yang sudah ada.

4. Qiyas.

Imam Syafi’i menetapkan qiyas sebagai salah satu sumber hukum bagi syariat Islam untuk mengetahui tafsiran hukum Alquran dan sunnah yang tidak ada nash pasti. Beliau tidak menilai qiyas yang dilakukan untuk menetapkan sebuah hukum dari seorang mujtahid lebih dari sekedar menjelaskan hukum syariat dalam masalah yang sedang digali oleh seorang mujtahid.

5. Istidlal.

Imam Syafi’i memakai jalan istidlal dalam menetapkan hukum, apabila tidak menemukan hukum dari kaidah-kaidah sebelumnya di atas. Dua sumber istidlal yang diakui oleh Imam Syafi’i adalah adat istiadat (‘urf) dan undang-undang agama yang diwahyukan sebelum Islam (istishab).

6. Qaul Qadim dan Qaul Jadid.

Qaul Qadim adalah pendapat Imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Irak. Sedangkan Qaul Jadid adalah pendapat Imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Mesir. Di Irak, beliau belajar kepada ulama Irak dan banyak mengambil pendapat ulama Irak yang termasuk ahl al-ra’yu. Di antara ulama Irak yang banyak mengambil pendapat Imam Syafi’i dan berhasil dipengaruhinya adalah Ahmad bin Hanbal.Setelah tinggal di Irak, Imam Syafi’i melakukan perjalanan ke Mesir kemudian tinggal di sana. Di Mesir, dia bertemu dengan (dan berguru kepada) ulama Mesir yang pada umumnya sahabat imam Malik. Imam Malik adalah penerus fiqih Madinah yang dikenal sebagai ahl al-hadits. Karena perjalanan intelektualnya itu, Imam Syafi’i mengubah beberapa pendapatnya yang kemudian disebut Qaul Jadid. Dengan demikian, Qaul Qadim adalah pendapat Imam Syafi’i yang bercorak ra’yu, sedangkan Qaul Jadid adalah pendapatnya yang bercorak sunnah.

Biografi Imam Hanbali


Al Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H. Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrah. Dan beliau dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab Musnadnya.
Langkah pertama Imam Ahmad memulai pendidikan dengan mempelajari hadis beliau mengunjungi beberapa daerah dan negara untuk mencari dan mengumpulkan hadis.Oleh karena itu beliau mencari hadis tidak di Baghdad saja pada saat usia 15 (179 H),akan tetapi sampai ke Basrah(186 H),lalu pada tahun berikutnya ke Hijaz,Kufah dan Yaman. 

Adapun sumber hukum Imam Imam Hanafi dalam menetapkan hukum Islam adalah berpegang pada:

1. Nash dari Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih.

Apabila beliau telah mendapati suatu nash dari Al-Qur’an dan dari Sunnah Rasul yang shahihah, maka beliau dalam menetapkan hukum adalah dengan nash itu.

2. Fatwa para sahabat Nabi SAW

Apabila ia tidak mendapatkan suatu nash yang jelas, baik dari Al-Qur’an maupun dari hadits shahih, maka ia menggunakan fatwa-fatwa dari para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan di kalangan mereka. Apabila terdapat perbedaan di antara fatwa para sahabat, maka Imam Ahmad ibn Hanbal memilih pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah.

3. Hadits Mursal dan Hadits Dha’if

Apabila ia tidak menemukan dari tiga poin di atas, maka beliau menetapkan hukum dengan hadits mursal dan hadits dha’if. Dalam pandangan Imam Ahmad ibn Hanbal, hadits hanya dua kelompok yaitu, hadits shahih dan hadits dha’if.

4. Qiyas

Apabila Imam Ahmad ibn Hanbal tidak mendapatkan nash dari hadits mursal dan hadits dha’if, maka ia menganalogikan / menggunakan qiyas. Qiyas adalah dalil yang digunakan dalam keadaan dharurat (terpaksa)

6. Sadd al-dzara’I, 

yaitu melakukan tindakan preventif terhadap hal-hal yang negatif.