Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Embrio ‘ilmu al-Uslub.

Embrio ‘ilmu al-Uslub.

Embrio ‘ilmu al-Uslub.

Al-Quran berpengaruh besar terhadap perkembangan al-balaghah al-fanniyah (seni retorika arab). Lantaran al-Qur’an embrio al-balaghah al-fannayah berkembang pesat menjadi sebuah disiplin ilmu. Pada masa awal islam, al-balaghah belum begitu berkembang hingga tataran pembakuan menjadi sebuah disiplin ilmu, apalagi hingga tataran pembukuan. Saat itu, al-balaghah masih terpusat pada orasi yang belum dikemas untuk tujuan edukatif.  Karenanya, secara akademik, konsep-konsepnya belum tersusun dengan jelas. Karena orasi bisa disampikan dengan sarana lisan, maka pemukuan pun belum diperlukan. Selain itu, memang, budaya masyarakat arab waktu itu masih merupakan budaya oral tulisan amsih sangat sedikit mendapatkan perhatian. Jadi, al-balaghah al-ta’limiyah belum tumbuh waktu itu.

Turunya al-Qur’an mendorong munculnya banyak analisis atas gaya Bahasa arab dengan al-Qur’an sendiri menajdi objek analisis utama. Analisis-analisis ini kemudia mendorong tersusunya konsep-konsep semacam I’jaz al-Qur’an. Pada gilirannya, muncul kesadaran besar di kalangan para cendikiawan akan pentingnya mengkodifikasi konsep-konsep ini. Dari sini, berkembanglah al-balaghah al-ta’limiyah  (retorika edukatif).

Dengan demikian, bisa dikatakan, bahwa pertumbuh kembang ilm al-balaghah dimulai sejak awal masa islam. Hal ini tampak dalam banyak fakta historis. Diantaranya sebagai berikut:

#1. Bangsa arab merupakan banga yang sangat memperhatikan bahasnya, bahkan cenderung membanggakannya. Mereka memiliki kekhasan Bahasa dalam mengungkapkan gagasan, citra, dan rasanya. Pada masa pra-islam dikenal karya-karya pusisi bernilai tinggi yang mereka gelar di pasar ‘Ukaz dan di sekitar kabah. Karena itu, ketika al-Qur’an hadir dengan Bahasa mereka tetapi dengan gaya bahsa yang jauh di atas mereka, mereka bukan saja sangat tertarik, tetapi bahkan terkejut dan kagum.

al-Quran turun dengan bahsa lisan yang banyak memilih kata-kata dan gaya penuturan yang lebih mengena dan memudahkan dalam penghafalan, seperti pengulangan kata atau kalimat, pengunaan lawan kata, keserasian bunyi akhir, dan sebagainya. Pemilihan kata dan gaya penurutan yang khas ini banyak mengejutkan para pujangga Arab saat itu. Di antara pujangga Arab yang terkagum dengan kekhasan gata al-Qur’an adalah al-Walid bin al-Mughirah, sebagiaman digambarkan dalam al-Qur’an.

Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya). Maka, celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan? kemudian, celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan? Kemudia, dia memikirkan. Sesudah itu, dia bermasam muka dan merengut. Kemudia, dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri. Lalu, dia berkata, “(al-Qur’an) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipeljari (dari orang-orang dahulu). Ini tidak lain hanyalh perkataan manusia.” Al-mudassir/74:18-25.

#2. Umar ibn Khattab r.a. menyampaikan komentar-komentar global yang mencerminkan kekaguman beliau atas kalam baligh al-Qur’an, semacam “ betapa indah dan mulianya tutur ini” ungkap ini kemudia di tangan para ahli al-balaghah berubah menajdi kaidah – kaidah yang disusun untu menajdi panduan dalam membangun cita tasa sastra. Cinta rasa ini sangat penting bagi seseorang untuk dapat menemukan kemukjizatan al-Qur’an dari sisi retoris, menciptakan tutur yang baik dan secara tepat melakukan pilihan atas unsur-unsur bahsa.

#3. Ibnu Abbas menggunakan puisi-puisi Arab Jahiliyah sebagai rujukan dala memahami makna kata-kata yang sulit dalam ayat-ayat al-Qur’an. Keinginan keras para ulama al-balaghah untuk mengetahui sebab-sebab turun (asbab al-nuzul) al-Qur’an tercemin di balik definisi yang mereka rumuskan: “ Bahwa suatu tutur haruslah sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi.”

#4. Para ulama meyakini bahwa penjelasan atas keutamaan I’jaz merupakan salah satu jalan untuk mencapai keimanan. Berdasarkan itulah, memperlajarinya menjadikan termasuk bagian dari urusan agama.

Awal abad ke-2 H, islam tealh tersebar luar, Bahasa arab merabah ke wilayah-wilayah di luar tempat asalnya, dan bangsa Arab mulai banyak berbaur dengan orang-orang non Arab. Para cendikiawan waktu itu memandang bahwa pembauran ini berpengaruh negative terhadap kemurnian Bahasa dan agama. Untuk mengantisipasi hal ini mereka harus berupaya agar kemurnian Bahasa arab terjaga. Tanpa upaya ini, dikhawatirkan pemahaman masyarakat akan al-Qur’an menyimpang, khususnya tentang sastra arab dan cita rasa unsur-unsur estetika yang terkandung di dalamnya.

Upaya-upaya itu membuahkan beberapa disiplin ilmu yang sangat penting sebagai meteri pengajaran Bahasa arab, sebagai konsep-konsep dalam menganalisis sastra dan lain-lain. Para cendekiawan itu kemudan sibuk dengan displin-displin ilmu baru itu. Konsentrasi dan focus mereka pun beragam, meskip pengajaran dan diskusi lintas bidang merupakan hal biasa. Bahkan, di kalangan ahli al-balghah, focus analisis mereka beragam. Ada yang lebih berkonsentrasi pada analisis style (uslub) reportase al-Qur’an. Ada yang lebih berkonsentrasi pada penerapan kaidah-kaidah Nahw terhadap sebagian ayat-ayat al-Qur’an.

Dalam perkembangan ilmu ini, beberapa masalah muncul, misalnya, “adakah Bahasa asing dalam al-Qur’an, atau “ bagaimana cara mengetahui rahasia-rahasia kemukjizatan al-Qur’an. Maka, lahirlah karya Abu Ubaidah Ma’mar binAl-mutsanna at-Taimi (w.209 H) Majaz l-Qur’an yang membahas masalah masalah ini, selain itu, juga lahir karyanya yang lain dalam kritik satra Al-Naqasl baina jarir wa al-firazdaq (pertentangan antara jarir dan Farazdaq). Karya ini merupakan hasil upayanya untuk melakukan komparasi antara sastra Arab dengan al-Qur’an.

Metode Abu Ubaidah dalam kedua karyanya di atas diikuti oleh al-Farra’ dalam bukunya Ma’ani al-Qur’an (makna makna dalam al-Qur’an).

Pada awal abad ke-3 Hijrah, muncul beraneka ragam sekte dalam islam yang kadang saling bertentangan. Mereka pun banyak melakukan diskusi dan perdebatan. Tak terelakkan, al-Qur’an pun menjadi objek diskusi yang sering dibahas. Aktivitas ini dilakuakn terutama oleh para pemikir Kalam (Mu’tazilah dan ‘Asya’ariyyah). Diskusi-diskusi dan perdebatan ini menjadi embrio lahirnya Ilmu al-Uslub kelak. Karenanya, dalam budaya Arab, tumbuhnya stilistika sebagi sebuah displin ilmu bermula dari apresiasi merke terhadap pusisi dan pidato, yang berkembang ke pembahasan aspek-aspek kebahasaan dalam al-Qur’an.

Di antara konsep yang lahir dari situasi di atas ialah konsep tentang kholg al-Quran(al-Qur’an sebagi makhluk) dan as-Sarfah. Kedua masalh ini untuk kali pertama dilontarkan oleh Ibrahim ibn Sayyar al-Nazzam. Ia menghimbau masyarakat tutur arab untuk mengembangkan as-Sarfah, yakni upaya untuk membuat untkapan tutur semisal al-Qur’an.

Konsep ini menjadi kerangka berpikir bagi para ilmuwan lain dalam mengembangkan konsep-konsep al-balaghah, khususnya tentang gaya Bahasa al-Qur’an. Di antara merke ialah al-jahiz (w.256). dalam karyanya “al-bayanwa al-Tabyin” yang disusun dalam empat jilid, ia mengemukakan konsep mengenai al-nazm, menurutnya, al-nazm ialah indahnya komposisi satuan kata dengan prefrensi musikalitas yang dibagun berdasarkan atas kemurniaan nada. Dan prefensi leksikalitas yang dibangun berdasarkan atas kebiasaan pengunaan. Begitu juga keindahan komposisi di antara kata-kata yang berdekatan dnegna penataan yang serasi.