Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Fungsi Hadist terhadap Alquran, Bayan at-Taqrir dan bayan yang lain

Imam Malik bin Anas menyebutkan lima fungsi hadits, yaitu bayan altaqrir, bayan al Tafsir, bayan al tafsil, bayan al ba’ts, bayan al tasyri’

Imam Syafi’i menyebutkan bayan al-tafsil, bayan at takhshih, bayan al ta’yin, bayan al tasyri’, bayan al nasakh. Dalam ar risalah ia menambahkan dengan bayan al Isyarah. 

Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi hadits yaitu: bayan al ta’kid, bayan al tafsir, bayan al tasyri’ dan bayan al takhshish.  

fungsi hadist
fungsi hadist

Fungsi Hadist


Dr. Muthafa As Siba’iy menjelaskan, bahwa fungsi hadits terhadap al Qur’an, ada 3(tiga) macam, yakni:


  1. Memperkuat hukum yang terkandung dalam al Qur’an, baik yang global maupun yang detail.
  2. Menjelaskan hukum-hukum yang terkandung dalam al Qur’an yakni mentaqyidkan yang mutlak quran, mentafsilkan yang mujmal dan mentakhsishkan yang ‘am.
  3. Menetapkan hukum yang tidak disebutkan oleh al Qur’an.

Adapun fungsi hadist terhadap al Qur’an  yang dikemukaan berfungsi sebagai dikemukakan Muhammad Abu Zahw antara lain: 



  1. hadist sebagai bayan at Tafsil.
  2. hadist berfungsi sebagai bayan at ta’kid.
  3. hadist berfungsi sebagai bayan al muthlaq atau bayan at taqyid.
  4. Hadist berfungsi sebagai bayan at takhsis; hadist berfungsi sebagai bayan at tasyri.
  5. hadist berfungsi sebagai bayan an nasakh. 


Fungsi hadist terhadap al-Qur’an secara umum adalah menjelaskan makna kandungan al Al-Qur’an atau lil bayan (menjelaskan). 

Hanya saja penjelasan tersebut diperinci oleh para ulama ke berbagai bentuk penjelasan. Secara garis besar ada empat makna fungsi penjelasan (bayan) hadist terhadap al-Qur’an, yaitu sebagai berikut:

1. Bayan at-Taqrir

Bayan at Taqrir  disebut dengan bayan at-ta’kid dan bayan al- itsbat, yang dimaksud dengan bayan ini ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al Qur’an.

Fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al Qur’an. Sehingga dalam hal ini, hadist hanya seperti mengulangi apa yang disebutkan dalam al-Qur’an. Sebagai contoh adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ibnu Umar, sebagai berikut:

“Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah”.(H.R Muslim)

Hadist ini men-taqrir Q.S al Baqarah (2): 185:
“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaknya ia berpuasa pada bulan itu.” 

Contoh lain, hadits riwayat al Bukhari dari Abu Hurairah:15
“Rasulullah SAW bersabda: “Tidak diterima shalat seseorang yang berhadas sebelum berwudhu”. (H.R al Bukhari)
Hadist ini men-taqrir Q.S al Maidah (5): 6 mengenai keharusan berwudhu ketika hendak mendirikan shalat. Ayat tersebut adalah:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu samapi degan siku, sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”

 Juga hadits tentang dasar-dasar Islam yang diriwayatkan oleh al Bukhari dari Ibn Umar:  ٍ

“Rasulullah SAW bersabda,”Islam dibangun atas lima dasar, yaitu mengucapkan kalimat syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, menunaikan ibadah haji, dan berpuasa dalam bulan Ramadhan.”

Hadist tersebut men-taqrir Q.S al Hujurat: 15, Q.S an Nur: 56; al Baqarah (2):185 dan Q.S Ali Imran: 97.  Menurut sebagian ulama, bayan ta’kid atau bayan taqrir ini disebut juga dengan bayan al muwafiq li an-nashl al Kitab. Hal ini dikarenakan munculnnya hadits-hadits itu sesuai dengan nash al-Quran. 

2. Bayan At-Tafsir

Bayan al Tafsir adalah bahwa kehadiran hadits berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al Qur’an yang masih bersifat global(mujmal), memberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al Qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsish) terhadap al Qur’an yang masih bersifat umum.

Diantara contoh tentang ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal, baik adalah perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat, disyariatkan jual beli, nikah, qhisas, hudud, dan sebagainya. Ayat - ayat al Qur’an tentang masalah ini masih bersifat mujmal, baik mengenai cara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-syaratnya, atau halangan - halangannya. 

Oleh karena itu, Rasulullah Saw, melalui hadistnya menafsirkan dan menjelaskan seperti disebutkan dalam hadist-hadist berikut:

 “Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku melakukan shalat.” (H.R alBukhari)
 Hadits ini menerangkan tata cara menjalankan shalat, sebagaimana Q.S al Baqarah (2): 43: 

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orangorang yang ruku’.”

Contoh hadits yang lain yang men-taqyid kan ayat-ayat al Qur’an yang bersifat mutlaq, adalah sabda Rasulullah SAW yang artinya berikut ini: 

“Rasulullah didatangi seseorang yang membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri tersebut dari pergelangan tangan.”

Hadist ini men-taqyid kan Q.S al-Maidah: 38
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Contoh hadits yang berfungsi men-takhsis keumumman ayat-ayat al Qur’an,20  seperti sabda Rasulullah SAW:  

Kami para Nabi tidak meninggalkan harta warisan. (H.R Bukhari)
Dan sabda Nabi Rasulullah:  
Seorang pembunuh tidak berhak dapat mewarisi harta orang yang dibunuh sedikitpun.(H.R an-Nasa’i) 

Kedua hadits tersebut men-takhsis keumuman firman Allah Q.S an Nisa’(4): 11: 
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak anakmu, yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dari dua orang anak perempuan.  

3. Bayan at Tasyri’ 

Bayan at tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang dapat tidak didapati dalam al-Qur’an atau dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokonya saja.

Dalam hal ini seolah-olah Nabi menetapkan hukum sendiri. Namun sebenarnya bila diperhatikan apa yang ditetapka oleh Nabi hakikatnya adalah penjelasan apa yang ditetapkan atau disinggung dalam al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan Allah secara terbatas.

Dalam hal ini sebagai contoh adalah sebuah hadits yang menyatakan melarang seorang suami memadu istrinya dengan dua wanita bersaudara. Hadist ini secara dhahir berbeda dengan Q.S an-Nisa’ (4): 24, maka pada hakikatnya hadist tersebut adalah penambahan atau penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah dalam firman tersebut.

Contoh lain yang adalah menghukum yang tidak bersandar kepada saksi  dan sumpah apabila tidak mempunyai dua orang saksi dan seperti radha’ah  (saudara sepersusuan) mengharamkan pernikahan keduanya, mengingat ada hadist yang menyatakan.

Haram karena radha’ apa yang haram lantaran nasab (keturunan).( H. R Ahmad dan Abu Dawud) Hadist Rasulullah Saw yang termasuk bayan at-tasyri’, wajib diamalkan. 

Sebagaimana kewajiban mengamalkan hadist-hadist lainnya. Ibnul al Qayyim berkata, bahwa hadist-hadist Rasul SAW yang berupa tambahan terhadap al Qur’an, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap (Rasul Saw) mendahului al-Qur’an melainkan semata-mata karena perintahNya.

4. Bayan al Nasakh 

Ketiga bayan yang pertama yang telah diuraikan di atas disepakati oleh para ulama, meskipn untuk bayan yang ketiga ada sedikit perbedaan yang terutama menyangkut definisi (pengertian) nya saja.
   
Untuk  bayan  jenis keempat ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadist hadist sebagai nasikh terhadap sebagian hukum al Quran dan ada juga yang menolaknya.

Kata an-Nasakh dari segi bahasa memiliki beberapa arti, yaitu al ibdthal (membatalkan), al ijalah (menghilangkan), at tahwil (memindahkan), atau at- taqyir(mengubah).

Menurut Abu Hanifah bayan tabdil (nasakh)  adalah mengganti sesuatu hukum atau me-nasakh-kannya.